Unconditionally
karya : Navia Ayutama
Inspired by : Harry Potter
Unconditionally
– Ara Matthew Calderwood – Zhaira Isabelle Litschka
Say you love me, as much as i love you yeaa~
Would you hurt me, Baby? Could you
do that to me, yeaa~
Would you lie to me, Baby?
Cause the truth hurts so much more
Would you do things that drive me
crazy
Leave my heart still at the door?
Now Playing : Die
In Your Arms – Justin Bieber
Aku
masih ingat saat aku pertama kali melihatnya, seorang gadis berambut keriting
yang duduk di pinggir jendela Hogwarts Express bersama dua kawannya. Ia tidak
banyak bicara, hanya sesekali tertawa jika kedua kawannya menceritakan hal-hal
yang lucu, suara tawa ringan dari seorang gadis kecil yang masih tak bisa
kulupakan bahkan sampai sekarang.
to continue click here
to continue click here
Tahun-tahun berlalu begitu cepat, aku selalu menyimpan
rasa ini tetapi aku tidak pernah bisa dekat dengannya. Setiap kali aku berusaha
mendekatinya, aku merasakan bahwa ia begitu tinggi, terkurung dalam kemegahan
asrama Ravenclaw yang dipenuhi segudang penyihir jenius sebut saja si Ketua
Murid Putra Jason McShade atau si blasteran penyihir-vampir, Devlin
Everlasting.
Terkadang
aku bertanya, siapakah yang akan berhasil merebut hatinya? Siapakah laki-laki
beruntung yang bisa membuat Zhaira Litschka jatuh cinta? Setiap hari aku
bertanya, namun pertanyaanku itu selalu tanpa jawaban. Aku tidak berani
menceritakan hal ini pada siapapun karena aku merasa tak pantas bersama seorang
penyihir super cerdas seperti Zhaira, setiap kali kelas kami bersamaan, yang
kulakukan hanyalah memandanginya, dan berharap akan datang sedikit keajaiban
sehingga aku akan bisa sedikit lebih dekat dengannya.
Aku
memutar fireboltku dengan kecepatan
tinggi, di belakangku ada David yang juga memacu sapu terbangnya dengan kecepatan
yang nyaris sama denganku. Beberapa meter di depanku, ada Marcel Griffith yang
melajukan ilution miliknya dengan
kecepatan gila-gilaan.
Fuck yea. Dalam masalah terbang aku
memang mengakui bahwa Marcel jauh lebih unggul dariku, bahkan bisa dibilang dia
adalah penerbang paling handal yang ada di dunia sihir. Yang kedua tentu saja
gadis Slytherin yang juga sahabat Zhaira, kalau tidak salah namanya Akaela.
Walaupun dia perempuan, kemampuannya mengendarai sapu terbang bisa dibilang
sebelas-dua belas dengan Marcel.
Sore ini
kami—para pemain Quidditch—tengah melakukan kegiatan
terbang-bersama-mengelilingi-Hogwarts, sebenarnya kegiatan ini dilarang oleh
Professor McGonaggal karena membahayakan penyihir lain. Tapi sebagai seorang
penyihir yang genius, aku tentu tidak
kehabisan akal, bersama Marcel aku membuat kegiatan ini bisa tetap berjalan
seperti biasanya.
Aku
melirik sekilas pada Azura yang sudah tampak kelelahan. Ha-ha-ha. Aku tertawa
dalam hati. Dia memang hebat dalam urusan menjadi seeker namun untuk urusan terbang, aku masih yang paling hebat di
asrama Gryffindor. Sekali lagi kuputar fireboltku
untuk menghindari sebuah pohon yang bisa dibilang tingginya tidak normal untuk
ukuran pohon biasa.
Melihat
Danau Hitam dari atas ketinggian adalah suatu kegiatan yang tidak bisa
dilewatkan. Oleh karena itu aku menunduk, dan pandanganku langsung terfokus
pada gadis yang duduk di tepi Danau Hitam dengan setumpuk buku tebal di
sampingnya.
Untuk
sesaat semuanya terasa berjalan begitu lambat, gadis itu, caranya membaca,
caranya menyelipkan rambut ke belakang telinga, caranya mengerjap, entah kenapa
hal-hal sepele yang dilakukannya selalu bisa membuatku terpesona
lagi-lagi-dan-lagi.
Zhaira
Litschka..
Aku
tersenyum, dan saat pandanganku kembali fokus ke depan, sebuah pohon besar
menghalau jalanku dan..
Kalian
pasti tau apa yang selanjutnya terjadi.
***
Now Playing :
One Less Lonely Girl
Seharian
ini yang kulakukan hanyalah berbaring di Hospital
Wings. Tulang-tulangku remuk setelah kemarin mengalami insiden memalukan
yaitu ‘menabrak-pohon-gara-gara-melihat-seorang-Zhaira-membaca-buku’ aku sudah
menguap 57kali dan menggeliat lebih dari 100kali. Rasanya benar-benar bosan,
melewatkan sore yang cerah dengan berbaring di brankar Hospital Wings sementara di luar sana, teman-temannmu yang lain
tengah memacu firebolt mereka
gila-gilaan.
Para
Professor melarang Madam Pince mengobati lukaku dengan ilmu sihir agar aku
kapok—yang tentu saja tidak akan pernah terjadi—ngebut-ngebutan dengan sapu
terbang di dalam Kastil Hogwarts. Tapi.. jangan harap itu terjadi karena aku sudah
merencanakan untuk membuat kompetisi terbang yang lebih menantang daripada yang
selama ini kulakukan.
“Hello..”
suara itu bagaikan listrik ribuan volt yang
menyetrum tubuhku hingga kejang. Suara lembut yang diam-diam kudambakan untuk
berbicara denganku, suara Zhaira Litschka. Dan aku mendengarnya menyapaku? Demi
Godric Gryffindor!
Aku
memalingkan wajahku terlalu cepat hingga bisa saja urat leherku putus. Zhaira
tersenyum kecil melihat tingkah lakuku, dan senyumnya bagaikan ramuan penyembuh
yang membuat seluruh rasa sakit di tubuhku akibat patah tulang menjadi hilang
tak berbekas.
Sore ini
dia terlihat menakjubkan—kuakui setiap hari dia juga begitu—rambutnya yang
keriting tampak basah, jubah Ravenclaw yang dikenakannya tampak berkilat-kilat
ditempa cahaya senja. Ia berjalan mendekati kotak obat-obatan, kemudian
menyerahkan padaku botol kecil berisi ramuan warna ungu yang baru pertama ini
kulihat.
“Minumlah,
mungkin besok tubuhmu akan baikan,” dia tersenyum, mengulurkan ramuan itu
padaku kemudian berbalik dan keluar dari Hospital Wings dengan ekor jubah
berkibar. Aku masih berusaha mempercayai mataku bahwa aku tidak bermimpi.
Zhaira
berbicara padaku! Siswi terpintar di Hogwarts berbicara denganku! Dan.. astaga
bodohnya! Mengapa aku tidak mengucapkan satu katapun? Mengapa aku tidak sekedar
mengatakan ‘hallo Zhaira!’ ‘terima kasih ramuannya’ ‘terima kasih sudah
menjenguk’ atau kata-kata basa-basi lainnya?! Mengapa aku hanya diam saja?!
Aku
menjambak rambutku kesal. Itulah kelemahanku, mungkin kalian bisa melihatku
sangat garang dan berani ketika berada di lapangan Quidditch. Aku mempunyai
nyali yang sangat besar untuk menantang siapapun yang ingin bertarung dengan
tim kebanggaanku, tapi disisi lain, aku terlalu pengecut di hadapan gadis yang
sangat kucintai.
Dan demi
apapun, itu bodoh sekali.
***
Now Playing :
Locked Out of Heaven
Seperti
yang dikatakan Zhaira, aku sudah sembuh keeseokan paginya—entah karena ramuan
itu benar-benar manjur ataukah karena ia yang memberikannya untukku—tapi yang
jelas, pada pagi harinya aku sudah bisa berdiri
dan mengikuti kelas Herbologi—yang omong-omong sangat menyenangkan
karena kami dijadwalkan belajar bersama asrama Ravenclaw.
Aku
memasuki kelas dengan kupu-kupu terbang di perutku, semalaman aku tidak tidur,
aku hanya menggumamkan kata ‘Zhaira, terima kasih ramuannya’ selama lebih dari
delapan jam. Dan sekarang, aku sudah siap mengatakannya langsung. Tadi pagi aku
sudah berlatih di depan cermin, dan aku sudah benar-benar siap untuk berbicara
dengannya.
Aku
berjalan sembari bersiul, para pemain Quidditch yang berpapasan denganku
menepuk pundakku keras-keras begitu mengetahui aku sudah sembuh dari cedera
super parah setelah menabrak pohon dari ketinggian lebih dari 30meter.
Kelas
Herbologi sudah sangat ramai ketika aku masuk—seperti biasa—aku melempar tasku
ke atas meja, mataku terus-terusan melirik gadis yang tengah berkosentrasi
membaca buku setebal sepuluh centimeter yang
ada di hadapannya. Terkadanga aku heran pada Zhaira, bagaimana mungkin dia
tahan membaca buku super membosankan seperti itu seharian?
Aku
menarik nafas, bersiap untuk menghampiri Zhaira ketika seorang anak laki-laki
seusiaku masuk bersama dengan Professor McGonaggal. Dia memakai seragam asrama
Ravenclaw, tapi aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Aku berani menebak
bahwa dia anak baru, karena anak-anak dari asrama Ravenclaw sendiri bingung
melihat anak laki-laki itu.
“Childs, you have a new class mate, namanya Jax Heisnbrg, dia pindah dari
Akademi Sihir Sylvendlivia, Jax adalah siswa terpintar di sekolahnya yang
dulu..” Professor McGonaggal mengambil nafas sejenak. “Dan Zhaira,” Professor
cerewet itu mengalihkan pandangannya pada Zhaira yang tetap terfokus pada buku
di hadapannya.
“Bisa
jadi Jax adalah sainganmu yang baru—tentu saja setelah Jason dan Devlin,”
pandangan Professor Mc Gonaggal teralih pada si Ketua Murid dan penyihir
blasteran yang duduk berjarak satu bangku dari Zhaira.
Zhaira
tersenyum, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada buku tebal di
hadapannya. Aku tersenyum tipis, inilah yang kusukai dari Zhaira, ia selalu
tampak tidak peduli dengan dunia sekelilingnya, tentu saja selain dua
sahabatnya, si tukang ngorok Azura—yang omong-omong tengah ketiduran di pojok
ruangan—dan Akaela yang kutebak tengah bertengkar dengan Marcel Griffith di
kelas Professor Hagrid.
“Oi
Ara!” Karel berbisik padaku. Aku berpaling untuk menatap wajahnya.
“What?” tanyaku singkat-padat-dan-jelas.
“Marcel
manantangmu adu terbang lagi nanti sore,” jawabnya dengan suara yang sangat
pelan. Aku mengangguk.
“Tell him, chalenge accepted,” aku
berpaling, kembali berusaha memahami
apa yang diajarkan oleh Professor di kelas ini, tentang tanaman yang bisa
membantu dalam berbagai sihir dan penyembuhan dan sejuta bla-bla-bla lain yang membuatku
muak. Jika saja Zhaira tidak ada disini, mungkin aku sudah kabur dari tadi.
***
Now Playing :
Immposible
Malam ini Hogwarts kembali berpesta untuk Slytherin. Asrama Ular Derik itu
benar-benar mengalami kejayaan yang sangat jaya(?) setelah posisi kapten diganti
oleh penyihir pindahan dari Durmstrang, Brian Salvatore. Apalagi diperkuat
dengan Akaela, Michael, Tom, dan pemain-pemain lain.
Dan
hasilnya? Kamilah—Gryffindor—yang harus menanggung sengsara. Semua pemain
mengalami patah tulang dan alhasil malam ini, Hospital Wings kembali dipenuhi
jubah merah-emas untuk yang kesekian kalinya.
Aku berjalan
menyusuri lorong perpustakaan yang gelap dan sepi. Omong-omong, aku tidak patah
tulang seperti teman-temanku yang lain karena aku tidak mengikuti pertandingan,
Madam Hooch memberiku skors dengan tidak boleh bertanding Quidditch selama dua
minggu dan itu membuatku sangat frustasi.
Aku
menyusuri rak-rak berisi buku super tebal berisi materi Transfigurasi untuk
menyelesaikan esaaiku yang masih
kurang sekitar lima lembar perkamen lagi. Mataku fokus membaca huruf-huruf yang
tertera di sampul buku itu, sehingga aku tidak menyadari seorang gadis yang
tengah duduk menghadap jendela dengan dahi menempel pada meja perpustakaan.
Zhaira
Isabelle Litschka. Tengah menangis.
Telingaku
bergerak-gerak merespon suara tangis Zhaira. Gadis itu menangis, malam-malam di
dalam perpustakaan. Selama ini, aku tidak pernah melihat Zhaira menangis. Terakhir
kali aku melihatnya menangis adalah pada tahun kedua, saat Azura dan Akaela
memaksanya naik sapu terbang dan alhasil ia jatuh dari ketinggian hampir
6meter.
Aku
tidak tau kekuatan apa yang menguasaiku hingga aku berani berjalan
menghampirinya hingga jarak kami hanya terpaut dua langkah saja. Suara tangis
Zhaira semakin keras terdengar. Aku menelan ludah dengan susah payah, kemudian
berjalan makin dekat menghampirinya.
“Hei..”
panggilku pelan. Zhaira tersentak kaget, ia menatapku dengan kedua matanya yang
basah, kemudian mengusap air matanya dengan punggung tangan.
“Hei..”
ia membalas dengan suara parau.
Menit-menit
berlalu begitu lambat, tak ada dari kami yang mau bersuara, hanya detik jam dan
suara hewan malam yang terdengar jelas di telingaku. Dan tak terduga, Zhaira
kembali menangis, ia terisak, menutup mukanya dengan telapak tangan, kemudian
kembali menangis.
“Hey..”
aku berlutut di hadapannya, kemudian meraih kedua tangannya agar wajahnya tidak
tertutupi. “Stop crying...” kataku
pelan. Aku mengusap pipinya dengan tanganku, tapi Zhaira kembali menangis.
“Sorry..” ujarnya pelan. Aku tidak tau
apa yang membuatnya meminta maaf padaku, tapi aku mengangguk dan kembali
mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Beberapa menit kemudian kembali
hening, hanya isak Zhaira yang semakin lama semakin pelan sebelum akhirnya
berhenti sama sekali.
“Hei..”
panggilku. Zhaira menatapku. “Anytime you
need me, i’ll be there..”
Dan ia
tersenyum.
***
Now Playing :
Everlasting Love
Hari ini adalah hari yang (mungkin) ditunggu-tunggu oleh seluruh penyihir
di Hogwarts. Hari ini adalah hari dimana seluruh penyihr diperbolehkan
mengunjungi Hogsmeade untuk sekedar berjalan-jalan atau berbelanja.
Aku
duduk di atas sapu terbang milik Marcel yang baru saja kupinjam (tanpa meminta
izin pada pemiliknya) kemarin. Para penyihir dari tahun pertama dan keenam
sudah berangkat sejak tadi pagi, hanya tinggal kami—penyihir tahun ketujuh
beserta prefek-prefek.
Berkali-kali
aku melirik pada gerbang Hogwarts sembari meyakinkan diriku sendiri bahwa gadis
yang sedari tadi kutunggu memang belum keluar. Jantungku berdebar kencang, berkali-kali
aku menarik nafas panjang, berusaha menormalkan detak jantungku.
“Relax, dude..” Dave menepuk pundakku
sembari tertawa kencang. Aku meninju lengannya, kata-katanya bukannya
menenangkanku, malah membuatku semakin grogi. Dan jantungku seolah melompat
keluar dari rongganya ketika melihatnya.
Zhaira
berjalan keluar dengan kedua sahabatnya, Akaela dan Azura.
Azura
dan Akaela tertawa melihatku, sementara Zhaira hanya tersenyum malu-malu. Aku
kembali menarik nafas panjang, Dave dan Ray mendorong-dorong punggungku agar
aku segera menghampiri Zhaira. Dan aku bersumpah itu adalah hal paling
memalukan seumur hidupku.
Menarik
nafas sekali lagi, aku berjalan menghampiri Zhaira yang menunduk dengan pipi
memerah. Akaela dan Azura segera berjalan menjauh begitu aku sampai tepat di
hadapan Zhaira. Syukurlah mereka pergi karena aku tidak tau betapa malunya jika
harus berbicara dengan Zhaira di hadapan mereka berdua.
“Hei.”
sapaku pelan.
“Hei.”
balas Zhaira tak kalah pelan.
“Pergi
sekarang?” tanyaku dengan bodohnya.
“Okay..”
***
Kami
menghabiskan waktu seharian, mengunjungi Shierking Shack, minum butter beer di The Three Broomstick
sembari mengobrolkan berbagai hal yang tak terduga. Aku tidak menyangka bahwa Zhaira
ternyata seseru ini.
Aku
tidak peduli tatapan penyihir lain yang mungkin menganggapku aneh karena
memilih untuk menghabiskan waktu dengan buku berjalan—panggilan untuk Zhaira—daripada
menemani anggota tim Quidditch Gryffindor yang pasti tengah berburu sapu
terbang.
“Tidak.
Sebenarnya aku tidak suka belajar, aku hanya suka mempelajari yang tidak aku
ketahui,” ujar Zhaira sembari mengunyah kentang tumbuk dan daging kalkun di
hadapannya. Aku mengangguk kecil.
“Aku
tidak suka belajar,” kataku jujur.
“Aku
tau,” balas Zhaira.
“Kenapa
kau tidak suka Quidditch? Sahabat-sahabatmu menyukainya,” tanyaku sembari
mengiris daging kalkun lantas mengunyahnya perlahan.
“Sama
seperti alasanmu tidak suka belajar,” Zhaira tersenyum kecil. “Quidditch bukan duniaku,
aku tidak pernah bisa menikmatinya seperti kedua sahabatku,”
Kemudian
hening. Zhaira menatap ke luar jendela, menikmati indahnya matahari yang
tenggelam di balik Shierking Shack. Sinar mentari begitu indah mengenai sisi
kiri wajah Zhaira, rambutnya yang lembut jatuh begitu indah di samping
wajahnya.
Aku menelan
ludah dengan susah payah, berusaha menahan keinginan untuk mengungkapkan
perasaanku. Karena bagiku, bisa melihat wajahnya dan berbicara dengannya, sudah
merupakan suatu yang sangat membahagiakan.
***
Now Playing : Skyfall
Hari ini—untuk kesekian kalinya—aku kembali menantang asrama Ular Derik
Menjijikkan itu. Tujuanku sudah jelas, aku ingin membalas kekalahan mengerikan
kami dengan kemanangan super gemilang. Akaela menerima tawaranku dengan senyum
mengembang, dia memang berbahagia setelah mengantongi kemenangan berturut-turut
setelah mengalahkan Gryffindor dan Ravencalaw (seharusnya ia tidak perlu
berbangga kerena asrama Ravenclaw memang tidak pernah menang)
Hari
ini, adalah hari yang kutunggu-kutunggu, kami sudah melakukan latihan lebih
dari tujuh kali dalam dua minggu ini, dan aku sangat yakin bahwa malam ini,
Ular Derik bersisik itu akan meringkuk di dalam asrama Slytherin yang dingin
dan gelap.
Aku mendongak
menatap Tim Slytherin yang bermanuver di udara dipimpin oleh Akaela dan di
sampingnya, tampak Brian Salvatore yang mengenakan pita warna biru melingkar di
lengan kanannya.
Tribun
penonton seolah dicat warna hijau dan merah, sorakan-sorakan dari para
pendukung kedua asrama menggema di udara. Beberapa penggemar Quidditch dari
Ravenclaw—yang hanya dua orang—dan Hufflepuff duduk di tribun tersendiri. Aku
bisa melihat tim Quidditch Hufflepuff
yang duduk dengan angkuh di tribun mereka.
“1.. 2..
3.. Go!” seruku memberi aba-aba. Kami
langsung meluncur di udara, bermanuver selama beberapa menit kemudian berhenti
tepat di depan tim Slytherin. Di hadapanku, Brian Salvatore terseyum khas anak
Durmstrang, senyum licik yang menyebalkan.
Madam
Hooch mengoceh di kejauhan, aku tidak mendengarkan apapun karena perhatianku
teralihkan pada senyum licik Brian yang seolah merendahkan. Aku memandang
anggota tim-ku, semuanya terintimidasi tatapan tim Slytherin yang merendahkan.
Oh ya, tentu saja selain Azura. Bukannya terintimidasi Akaela, mereka berdua
malah tertawa-tawa sembari mengobrolkan sesuatu tentang “dia tampan sekali”
“aku malas mengerjakan tugas” dan lain sebagainya.
“1...”
Madam Hooch mulai menghitung. Brian melebarkan senyum separuhnya. Akaela dan
Azura masih tertawa-tawa seolah baru saja melakukan hal yang menggemaskan.
“2..”
Lion—seeker Slytherin—mulai melirik
pada Golden Snitch yang
bergerak-gerak liar di dalam kotak. Azura dan Akaela berhenti tertawa-tawa,
Akaela mulai mengeluarkan tatapan Slytherinnya, dan itu menyeramkan sekali.
“Go..!” aku meluncur kebawah, menangkap bludger dan mengoperkannya pada David.
Tidak seperti dugaanku, Brian malah meluncur ke pertahanannya sendiri, Akaela
maju ke depan, bermanuver beberapa kali, dan menangkap bludger yang kulemparkan tepat
sebelum David berhasil menangkapnya dan memasukannya ke gawang dengan
mulus.
10-0
untuk Slytherin.
***
Malam
ini, Aula Besar kembali menjadi milik asrama Slytherin. Pesta besar dilakukan, tapi
aku tau, ‘pesta’ sesungguhnya ada di dalam asrama Slytherin sendiri, kabarnya,
mereka selalu menyelundupkan soda api untuk dipakai mabuk-mabukan di asrama
mereka yang berada di dasar danau hitam.
Dan
selalu saja, tidak ada penyihir yang berani keluar apabila Slytherin mengadakan
pesta, mereka tau, penyihir Slytherin adalah kumpulan penyihir nekat yang
berani melakukan apa saja meskipun itu di hadapan profesor sekalipun.
Aku
berjalan sendirian menyusuri koridor sayap barat Kastil yang gelap. Ujung
koridor ini mengarah pada jalan berbatu menuju asrama Slytherin. Ini adalah
koridor yang sangat jarang dilewati oleh penyihir kecuali dari asrama Slytherin
sendiri. Koridor yang kulalui begitu gelap, disana-sini tampak bendera-bendera
Slytherin yang berkibar ditiup angin dan plakat-plakat berukir Ular Derik yang
menghiasi sepanjang tembok.
Aku
berjalan dengan bulu kuduk berdiri, aku jadi heran sendiri bagaimana mungkin
para penyihir itu mau ditempatkan di dalam asrama super menyeramkan seperti
asrama Slytherin yang gelap dan mengerikan.
“Yap.
Tapi terkadang Jason menemaniku,” sayup-sayup kudengar suara Zhaira memantul
pada dinding lorong yang dingin. Aku menajamkan penglihatanku, dan diujung
lorong, tampak Zhaira yang tengah berjalan dengan penyihir pindahan beberapa
hari yang lalu, Zax Heisnbrg.
“Di
sekolahku dulu, kami tidak harus berpatroli setiap malam, para hantu yang
melakukannya,” Zax membalas ringan. Zhaira tersenyum kecil. Keduanya tampak
begitu akrab, dan jujur saja, aku tidak menyukainya.
“Ya
Tuhan!” Zhaira menepuk dahinya pelan. “Aku belum menyelesaikan tugas dari kelas
Ramuan!” serunya panik.
“Hmm..
aku akan membantumu mengerjakannya malam ini,” Zax tersenyum kecil. Mereka
berdua berbincang-bincang tentang suatu ramuan dan beberapa mantera yang tidak
kumengerti, tapi bagaimanapun, hatiku sakit sekali.
***
Now
Playing : Those Year
Hari-hari berjalan begitu cepat. Aku membuka lembaran
buku materi Transfigurasi dengan malas, nyaris tanpa semangat. Ujian NEWT yang
tinggal menghitung hari membuat seluruh penyihir tahun ketujuh seolah mempunyai
kebiasaan baru yang sama : belajar di perpustakaan.
Sudah
seharian ini aku duduk disini, tanpa melakukan apapun. Hanya membalik-balik
halaman buku, kemudian beralih memandangi lautan penyihir yang didominasi oleh
anak-anak Ravenclaw yang mendapatkan tempat di balkon khusus.
Apabila
sudah mendekati ujian seperti sekarang ini, para Professor akan membagi
perpustakaan ke dalam 4bagian. Yang pertama, balkon. Sudah jelas ditempati oleh
penyihir-penyihir rajin dan pintar dari asrama Ravenclaw yang akan membaca
dalam keheningan, penuh penghayatan, dan konsentrasi tinggi.
Area
kedua, sisi kanan perpustakaan sekaligus dekat dengan jendela menghadap Danau
Hitam yang ditempati oleh penyihir genius dari Slytherin. Sejujurnya, Slytherin
mempunyai kemampuan otak lebih mumpuni dibandingkan dengan Ravenclaw, namun
mereka memang tidak mempunyai sifat rajin seperti yang dimiliki Ravenclaw.
Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku melihat Brian Salvatore dan Akaela yang berebut
apel hijau yang merupakan tanda dari kekuasaan mereka. Mereka menyebutnya Slytherin’s Pride. Sesuatu yang harus
mereka jaga dan pertahankan hingga akhir hayat.
Sementara
lorong super nyaman—lokasi ketiga—menjadi tempat untuk penyihir asrama
Hufflepuff. Sayangnya, hanya segelintir penyihir saja yang duduk disana,
sebagian besar penyihir Hufflepuff memilih untuk tidur atau berdiam diri di
asrama mereka. Bukan hal yang aneh mengingat penyihir Hufflepuff memang tidak
terlalu peduli pada nilai.
Dan
kami, Asrama Singa, memperoleh tempat di sisi kiri perpustakaan, berseberangan
dengan asrama Slytherin. Beberapa penyihir mempelajari bacaannya dengan serius,
beberapa lagi—termasuk aku—hanya berada disini sekedar menunjukkan bahwa aku
juga ingin belajar sama seperti yang
lain.
Kembali
mataku melirik pada balkon tempat para penyihir Ravenclaw berada—lebih
tepatnya, melirik pada kursi Zhaira yang sudah ditinggalkan lebih dari setengah
jam yang lalu. Aku menghela nafas panjang, menutup bukuku dengan kasar,
kemudian berjalan keluar dari perpustakaan.
Angin
sejuk langsung menerpa tubuhku begitu aku keluar dari dalam perpustakaan. Sejujurnya
aku lebih menikmati berada di luar seperti ini dibandingkan harus membaca buku
seharian di dalam perpustakaan.
“Hei
Ara!”
Aku
menoleh, dan mendapati Zhaira yang tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon
rindang yang dikenal sebagai pohon tempat Draco Malfoy ditransfigurasikan
menjadi tupai oleh Profesor Mad-Eye.
“Hei..”
balasku sembari berjalan menghampirinya. Zhaira tersenyum manis, tangannya
menepuk tempat di sebelahnya, sebagai isyarat bahwa aku diperbolehkan duduk
disitu. Aku membalas senyumnya, lalu duduk di sebelahnya.
“Aku
tidak suka belajar di dalam perpustakaan, suasananya terlalu ramai,” ia membuka
percakapan.
“Mmmm..”
gumamku tak jelas. “Lagipula, belajar tidak akan membuatku mampu mengalahkanmu,”
ujarku tersenyum tipis. Zhaira tertawa pelan.
“Ada Jax
Heisnbrg yang juga perlu kau kalahkan,” balas Zhaira.
“Hmm..
berarti dia benar-benar ancaman untukmu,”
“Ya.
Tapi tidak juga, menurutku, penyihir di Slytherin jauh lebih berbahaya, apalagi
jika mereka mau belajar seperti sekarang ini,” Zhaira membalik halaman bukunya.
Aku menghela nafas panjang.
Tiba-tiba
pikiran itu muncul lagi, suatu keinginan untuk mengungkapkan perasaanku pada
Zhaira, perasaan yang mendadak tak bisa kutahan, perasaan yang begitu kuat,
seolah mendorongku untuk mengungkapkannya, mengatakannya dengan
sejujur-jujurnya.
Aku
menarik nafas panjang, menoleh pada Zhaira yang tengah berkosentrasi membaca
deretan huruf di dalam bukunya. Jantungku berdegub kencang, keringat dingin
mulai menetes, dan tanganku gemetar seperti tersetrum listrik ribuan volt.
“Zhaira..”
panggilku pelan. Zhaira menoleh dengan alis terangkat, dan hal itu membuatku
bertambah gugup. Aku menelan ludah susah payah, katakan Ara, katakan, katakan atau kau akan menyesal selamanya.
Sudut pikiranku terus-menerus mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya.
“Zhaira..”
aku menarik nafas panjang. “I love you,”
kembali aku menarik nafas panjang. “Be my
girl, please,”
Hening.
Hening.
Hening.
Zhaira
mematung di tempatnya, tidak bereaksi dengan apa yang baru saja kukatakan. Aku
membuang muka, menatap ke arah lain, berusaha mengalihkan pikiranku tentang
berbagai spekulasi bagaimana perasaan Zhaira setelah aku mengungkapkannya.
Tiba-tiba
Zhaira berdiri, membereskan bukunya. Aku menatapnya dengan pandangan
bertanya-tanya, namun ia hanya tersenyum, kemudian berjalan menjauh kembali ke
dalam perpustakaan.
***
Now
Playing : Unconditionally
Aku hanya merasa.. hampa.
Tidak ada yang bisa kurasakan setelah ujian NEWT selesai, aku hanya datang ke
lapangan Quidditch, menatap kosong pada kastil Hogwarts yang luar-biasa megah,
kemudian kembali lagi ke dalam asrama Gryffindor yang semakin lama semakin
sepi.
Para penyihir
se-angkatanku sudah banyak yang pergi meninggalkan kastil, entah untuk bekerja
di Kementrian Sihir atau meneruskan sekolah sihir mereka di negara lain. Seluruh
penyihir tahun ketujuh Ravenclaw sudah kembali ke keluarga masing-masing,
termasuk Zhaira.
Malam ini, kami
kembali berkumpul di Aula Besar untuk makan malam. Semakin lama, suasana makin
sepi, dari seluruh penyihir tahun ketujuh, mungkin hanya tersisa sekitar
20orang yang masih belum pergi dari sini.
Aku menyelesaikan
suapan terakhir dalam diam. Besok, Ray dan Will akan kembali ke orang tua
mereka masing-masing, itu berarti hanya aku yang masih bertahan. Aku tidak tau
mengapa aku begitu tidak rela meninggalkan kastil ini, mugkin.. karena hanya
kastil inilah satu-satunya saksi bahwa aku pernah dekat dengan Zhaira.
Udara dingin
bagaikan anak panah yang menusuk-nusukku begitu aku keluar dari Aula Besar.
Angin bulan Desember menerbangkan butir-butir salju yang mulai turun. Kurapatkan
mantelku, berjalan menuju asrama Gryffindor ketika suara itu memanggilku dengan
pelan namun aku dapat mendengarnya dengan sangat jelas.
“Ara!”
***
“Aku
hanya mengambil barang-barangku yang masih tertinggal,” jawab Zhaira sembari
menunjukkan kopernya yang berisi penuh buku. Aku mengangguk, rasanya senang
melihatnya kembali berada disini meskipun sebentar lagi ia akan kembali ke
dunia Muggle bersama kedua orang tuanya.
Kembali
terlintas di pikiranku peristiwa ketika Zhaira pergi meninggalkanku setelah aku
mengungkapkan semuanya, perasaanku selama tujuh tahun bersamanya di satu
sekolah yang sama, kastil yang sama, tempat yang sama.
“Kau
akan kemana setelah ini?” tanyaku memberanikan diri. Zhaira mengangkat kedua
bahunya, pertanda tidak tau.
“Mungkin
aku akan meneruskan sekolahku ke Hungaria, atau mungkin..” ia menghela nafas
pelan. “Kembali menjadi muggle seperti
kedua orang tuaku,” ia tersenyum. Aku sudah mengetahui kabar tentang Kementrian
Sihir yang melarang Zhaira menjadi anggota Kementrian karena ia adalah muggle-born, penyihir yang lahir dari
pasangan manusia alias tidak mempunyai leluhur penyihir.
“Lebih
baik meneruskan sekolahmu,” kataku memberi saran. Zhaira mengangguk.
“Akan
kupikirkan nanti,”
Kemudian
hening lagi, keheningan yang terasa begitu akrab, keheningan yang selalu
terjadi ketika aku tengah bersama Zhaira.
“Ara,”
panggilnya. Aku menoleh.
“Soal pernyataanmu
waktu itu, sekarang aku akan menjawab—”
“Jangan
dijawab!” potongku cepat. Zhaira menoleh, heran. “Jangan dijawab. Biarkan saja
aku mencintaimu, apabila takdir nantinya akan menyatukan kita, maka aku
akhirnya akan tau apa jawabanmu,”
Zhaira
tersenyum tipis, kemudian mengangguk.
***
Now
Playing : Those Years
5years later..
Aku
memeriksa tumpukan perkamen yang menggunung di atas meja kerjaku, melihat
satu-per-satu laporan tentang deportasi penyihir besar-besaran yang terjadi
beberapa hari yang lalu. Sudah lebih dari lima jam aku duduk dalam posisi ini,
dan sekarang tubuhku terasa begitu pegal.
Sudah
lima tahun aku lulus dari Hogwarts, banyak teman-temanku yang sudah menikah
ataupun bekerja, dan begitupun aku, pada akhirnya aku bekerja di Kementrian
Sihir sebagai bagian divisi Sosial yang mengurusi perpindahan penyihir dan
sejenisnya.
Lima tahun berlalu sejak terakhir aku bertemu dan
berbicara dengan Zhaira. Aku masih mencintainya, tapi aku tau, mungkin memang
aku tidak boleh terlalu egois, jadi aku membiarkan takdirlah yang akan menjawab
perasaanku padanya.
Triingg..
Lamunanku buyar ketika telepon di sebelah sikuku berdering. Sejak beberapa
tahun yang lalu, Kementrian memang memperbolehkan penggunaan barang muggle seperti telepon untuk memudahkan
komunikasi antar penyihir.
“Halo?”
kataku.
“Hai teman lama,”
Suara Zhaira.
***
“Apa?
Kau merindukanku?” tanyaku sembari tertawa renyah. Zhaira ikut tertawa.
“Jangan berharap.”
“Lalu, kenapa kau menghubungiku? Sudah berapa lama, hmm? Lima tahun?”
tanyaku lagi.
“Ya.. selama itulah, aku tidak pernah
menghitungnya,”
“Bagaimana
kabarmu?”
“Baik, aku sudah menyelesaikan sekolahku dua
tahun yang lalu, sekarang aku bekerja di sini, dan itu sangat menyenangkan
dibandingkan Inggris,” jawabnya dengan nada gembira.
“Aku
turut senang mendengarnya,” kataku tulus.
“Mmmm Ara. Aku punya satu keinginan
untukmu,” ujarnya lagi.
“Apa?
Kau ingin aku mengejarmu lagi? Hahaha,”
“Hahaha kedengarannya menyenangkan.
Sayangnya, sekarang tidak bisa lagi, kau tidak bisa mengejarku lagi,”
“Hah?”
aku melepas kacamataku. “Kenapa?”
“Ini yang sebenarnya ingin ku katakan
padamu, kau akan menjadi orang yang pertama kuberi tahu..”
***
Now Playing :
One In A Million You
Aku menatap
pintu masuk dengan perasaan gugup yang berlebihan. Sudut mataku melirik Marcel Griffith, Brian Salvatore, Dave
Degaetano, Jason McShade, dan teman-temanku yang tengah bercanda dan tertawa tanpa
beban. Aku menarik nafas panjang, yah, ini memang bukan hari bahagia mereka. Ini
adalah hari bahagiaku. Jadi, tidak
ada alasan untuk mereka grogi di hari bahagiaku.
Tanganku
bergerak-gerak dengan gelisah, jari-jemariku saling meremas satu sama lain,
waktu terasa berjalan begitu lambat ketika lampu tiba-tiba padam, hanya
lilin-lilin terbang yang masih memancarkan cahaya redup yang malah membuat rasa
grogiku bertambah menjadi berkali-kali lipat dari sebelumnya. Telapak tanganku
dingin, dan tubuhku gemetar seolah disetrum dengan listrik ribuan volt.
“Relax dude,” Marcel menepuk pundakku
sembari tersenyum. Aku menunduk, menarik nafas kemudian menghembuskannya
perlahan, berusaha mengusir rasa gugup ini sejauh-jauhnya. Alunan musik mulai
terdengar, para undangan serentak menghadap ke arah pintu masuk berwarna putih
gading yang terletak di ujung ruangan. Pintu itu perlahan-lahan membuka secara
sihir, dan siluet seorang gadis yang
amat-sangat kukenal terlihat jelas dari tempatku berada.
Untuk
sesaat, waktu seolah terhenti saat aku melihatnya masuk ke dalam ruangan.
Aku
bersumpah dia adalah gadis paling cantik yang pernah kutemui. Ia terlihat
cantik setiap harinya tetapi hari ini ia terlihat seribu kali lebih cantik.
Tubuhnya terbalut gaun berwarna putih gading dengan buket bunga lili di
genggamannya. Ia tersenyum manis, lengannya mengamit tangan seorang laki-laki
yang kuyakini menjadi laki-laki paling beruntung di dunia.
Jax
Heisnbrg dan Zhaira Litschka.
Mereka
berdua berpandangan, kemudian kembali melemparkan senyum pada para undangan
yang bertepuk tangan riuh. Aku memandang teman-temanku yang tersenyum lebar
melihat pasangan pengantin yang mulai berjalan menyusuri karpet menuju altar.
Pasangan
Ravenclaw, dua penyihir berotak encer, jebolan asrama Ibunda Rowena yang
terkenal, aku tidak menyangka bahwa Zax-lah yang akhirnya mendapatkan Zhaira.
Kupikir, akulah yang akan berdiri di
sampingnya saat ini, aku tidak menyangka, takdir menyeret kami masuk dalam
pusaran seperti ini.
Zhaira
tersenyum menatapku, dan tanpa sadar, sudut bibirku tertarik ke atas membalas
senyumannya. Ingatanku melayang menyusuri berbagai peristiwa selama tujuh tahun
kami berada di sekolah yang sama; dia adalah gadis yang paling kucintai,
satu-satunya gadis yang kuharapkan menjadi pendamping hidupku, gadis yang hari
ini tersenyum bahagia mengamit lengan laki-laki idamannya, laki-laki yang
sangat kuyakini mampu membuatnya lebih bahagia daripadaku.
Senyumku
makin lebar saat Zax dan Zhaira berjalan melewatiku, menuju petugas Kementrian sihir
yang berdiri di sebuah mimbar besar menghadap para undangan. Aku merasa sesuatu
yang hangat meleleh dalam hatiku, rasa hangat yang kusebut sebagai..
kebahagiaan. Aku tersenyum makin lebar, menyadari sesuatu pemikiran yang
tiba-tiba muncul dalam hatiku.
Ternyata
selama ini aku salah, kupikir akan sangat menyakitkan melihat gadis yang paling
kucintai bersama dengan laki-laki lain. Tapi tidak, aku benar-benar salah. Aku
salah karena, disaat kita benar-benar mencintai seorang gadis, kita akan
bahagia saat ia berhasil menemukan pria idamannya, dan dari lubuk hati yang
paling dalam, kita akan mendoakannya,
Bahagia
selamanya..
0 komentar:
Posting Komentar