Senin, 09 Februari 2015

Cerpen ~ UNCONDITIONALLY

Unconditionally
karya : Navia Ayutama
Inspired by : Harry Potter

Unconditionally – Ara Matthew Calderwood – Zhaira Isabelle Litschka

            Say you love me, as much as i love you yeaa~
            Would you hurt me, Baby? Could you do that to me, yeaa~
            Would you lie to me, Baby?
            Cause the truth hurts so much more
            Would you do things that drive me crazy
            Leave my heart still at the door?

            Now Playing  : Die In Your Arms – Justin Bieber


            Aku masih ingat saat aku pertama kali melihatnya, seorang gadis berambut keriting yang duduk di pinggir jendela Hogwarts Express bersama dua kawannya. Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali tertawa jika kedua kawannya menceritakan hal-hal yang lucu, suara tawa ringan dari seorang gadis kecil yang masih tak bisa kulupakan bahkan sampai sekarang.

to continue click here

Tahun-tahun berlalu begitu cepat, aku selalu menyimpan rasa ini tetapi aku tidak pernah bisa dekat dengannya. Setiap kali aku berusaha mendekatinya, aku merasakan bahwa ia begitu tinggi, terkurung dalam kemegahan asrama Ravenclaw yang dipenuhi segudang penyihir jenius sebut saja si Ketua Murid Putra Jason McShade atau si blasteran penyihir-vampir, Devlin Everlasting.
            Terkadang aku bertanya, siapakah yang akan berhasil merebut hatinya? Siapakah laki-laki beruntung yang bisa membuat Zhaira Litschka jatuh cinta? Setiap hari aku bertanya, namun pertanyaanku itu selalu tanpa jawaban. Aku tidak berani menceritakan hal ini pada siapapun karena aku merasa tak pantas bersama seorang penyihir super cerdas seperti Zhaira, setiap kali kelas kami bersamaan, yang kulakukan hanyalah memandanginya, dan berharap akan datang sedikit keajaiban sehingga aku akan bisa sedikit lebih dekat dengannya.
            Aku memutar fireboltku dengan kecepatan tinggi, di belakangku ada David yang juga memacu sapu terbangnya dengan kecepatan yang nyaris sama denganku. Beberapa meter di depanku, ada Marcel Griffith yang melajukan ilution miliknya dengan kecepatan gila-gilaan.
            Fuck yea. Dalam masalah terbang aku memang mengakui bahwa Marcel jauh lebih unggul dariku, bahkan bisa dibilang dia adalah penerbang paling handal yang ada di dunia sihir. Yang kedua tentu saja gadis Slytherin yang juga sahabat Zhaira, kalau tidak salah namanya Akaela. Walaupun dia perempuan, kemampuannya mengendarai sapu terbang bisa dibilang sebelas-dua belas dengan Marcel.
            Sore ini kami—para pemain Quidditch—tengah melakukan kegiatan terbang-bersama-mengelilingi-Hogwarts, sebenarnya kegiatan ini dilarang oleh Professor McGonaggal karena membahayakan penyihir lain. Tapi sebagai seorang penyihir yang genius, aku tentu tidak kehabisan akal, bersama Marcel aku membuat kegiatan ini bisa tetap berjalan seperti biasanya.
            Aku melirik sekilas pada Azura yang sudah tampak kelelahan. Ha-ha-ha. Aku tertawa dalam hati. Dia memang hebat dalam urusan menjadi seeker namun untuk urusan terbang, aku masih yang paling hebat di asrama Gryffindor. Sekali lagi kuputar fireboltku untuk menghindari sebuah pohon yang bisa dibilang tingginya tidak normal untuk ukuran pohon biasa.
            Melihat Danau Hitam dari atas ketinggian adalah suatu kegiatan yang tidak bisa dilewatkan. Oleh karena itu aku menunduk, dan pandanganku langsung terfokus pada gadis yang duduk di tepi Danau Hitam dengan setumpuk buku tebal di sampingnya.
            Untuk sesaat semuanya terasa berjalan begitu lambat, gadis itu, caranya membaca, caranya menyelipkan rambut ke belakang telinga, caranya mengerjap, entah kenapa hal-hal sepele yang dilakukannya selalu bisa membuatku terpesona lagi-lagi-dan-lagi.
            Zhaira Litschka..
            Aku tersenyum, dan saat pandanganku kembali fokus ke depan, sebuah pohon besar menghalau jalanku dan..
            Kalian pasti tau apa yang selanjutnya terjadi.

            ***

            Now Playing  : One Less Lonely Girl

            Seharian ini yang kulakukan hanyalah berbaring di Hospital Wings. Tulang-tulangku remuk setelah kemarin mengalami insiden memalukan yaitu ‘menabrak-pohon-gara-gara-melihat-seorang-Zhaira-membaca-buku’ aku sudah menguap 57kali dan menggeliat lebih dari 100kali. Rasanya benar-benar bosan, melewatkan sore yang cerah dengan berbaring di brankar Hospital Wings sementara di luar sana, teman-temannmu yang lain tengah memacu firebolt mereka gila-gilaan.
            Para Professor melarang Madam Pince mengobati lukaku dengan ilmu sihir agar aku kapok—yang tentu saja tidak akan pernah terjadi—ngebut-ngebutan dengan sapu terbang di dalam Kastil Hogwarts. Tapi.. jangan harap itu terjadi karena aku sudah merencanakan untuk membuat kompetisi terbang yang lebih menantang daripada yang selama ini kulakukan.
            “Hello..” suara itu bagaikan listrik ribuan volt yang menyetrum tubuhku hingga kejang. Suara lembut yang diam-diam kudambakan untuk berbicara denganku, suara Zhaira Litschka. Dan aku mendengarnya menyapaku? Demi Godric Gryffindor!
            Aku memalingkan wajahku terlalu cepat hingga bisa saja urat leherku putus. Zhaira tersenyum kecil melihat tingkah lakuku, dan senyumnya bagaikan ramuan penyembuh yang membuat seluruh rasa sakit di tubuhku akibat patah tulang menjadi hilang tak berbekas.
            Sore ini dia terlihat menakjubkan—kuakui setiap hari dia juga begitu—rambutnya yang keriting tampak basah, jubah Ravenclaw yang dikenakannya tampak berkilat-kilat ditempa cahaya senja. Ia berjalan mendekati kotak obat-obatan, kemudian menyerahkan padaku botol kecil berisi ramuan warna ungu yang baru pertama ini kulihat.
            “Minumlah, mungkin besok tubuhmu akan baikan,” dia tersenyum, mengulurkan ramuan itu padaku kemudian berbalik dan keluar dari Hospital Wings dengan ekor jubah berkibar. Aku masih berusaha mempercayai mataku bahwa aku tidak bermimpi.
            Zhaira berbicara padaku! Siswi terpintar di Hogwarts berbicara denganku! Dan.. astaga bodohnya! Mengapa aku tidak mengucapkan satu katapun? Mengapa aku tidak sekedar mengatakan ‘hallo Zhaira!’ ‘terima kasih ramuannya’ ‘terima kasih sudah menjenguk’ atau kata-kata basa-basi lainnya?! Mengapa aku hanya diam saja?!
            Aku menjambak rambutku kesal. Itulah kelemahanku, mungkin kalian bisa melihatku sangat garang dan berani ketika berada di lapangan Quidditch. Aku mempunyai nyali yang sangat besar untuk menantang siapapun yang ingin bertarung dengan tim kebanggaanku, tapi disisi lain, aku terlalu pengecut di hadapan gadis yang sangat kucintai.
            Dan demi apapun, itu bodoh sekali.

            ***

            Now Playing  : Locked Out of Heaven

            Seperti yang dikatakan Zhaira, aku sudah sembuh keeseokan paginya—entah karena ramuan itu benar-benar manjur ataukah karena ia yang memberikannya untukku—tapi yang jelas, pada pagi harinya aku sudah bisa berdiri  dan mengikuti kelas Herbologi—yang omong-omong sangat menyenangkan karena kami dijadwalkan belajar bersama asrama Ravenclaw.
            Aku memasuki kelas dengan kupu-kupu terbang di perutku, semalaman aku tidak tidur, aku hanya menggumamkan kata ‘Zhaira, terima kasih ramuannya’ selama lebih dari delapan jam. Dan sekarang, aku sudah siap mengatakannya langsung. Tadi pagi aku sudah berlatih di depan cermin, dan aku sudah benar-benar siap untuk berbicara dengannya.
            Aku berjalan sembari bersiul, para pemain Quidditch yang berpapasan denganku menepuk pundakku keras-keras begitu mengetahui aku sudah sembuh dari cedera super parah setelah menabrak pohon dari ketinggian lebih dari 30meter.
            Kelas Herbologi sudah sangat ramai ketika aku masuk—seperti biasa—aku melempar tasku ke atas meja, mataku terus-terusan melirik gadis yang tengah berkosentrasi membaca buku setebal sepuluh centimeter yang ada di hadapannya. Terkadanga aku heran pada Zhaira, bagaimana mungkin dia tahan membaca buku super membosankan seperti itu seharian?
            Aku menarik nafas, bersiap untuk menghampiri Zhaira ketika seorang anak laki-laki seusiaku masuk bersama dengan Professor McGonaggal. Dia memakai seragam asrama Ravenclaw, tapi aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Aku berani menebak bahwa dia anak baru, karena anak-anak dari asrama Ravenclaw sendiri bingung melihat anak laki-laki itu.
            “Childs, you have a new class mate, namanya Jax Heisnbrg, dia pindah dari Akademi Sihir Sylvendlivia, Jax adalah siswa terpintar di sekolahnya yang dulu..” Professor McGonaggal mengambil nafas sejenak. “Dan Zhaira,” Professor cerewet itu mengalihkan pandangannya pada Zhaira yang tetap terfokus pada buku di hadapannya.
            “Bisa jadi Jax adalah sainganmu yang baru—tentu saja setelah Jason dan Devlin,” pandangan Professor Mc Gonaggal teralih pada si Ketua Murid dan penyihir blasteran yang duduk berjarak satu bangku dari Zhaira.
            Zhaira tersenyum, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya pada buku tebal di hadapannya. Aku tersenyum tipis, inilah yang kusukai dari Zhaira, ia selalu tampak tidak peduli dengan dunia sekelilingnya, tentu saja selain dua sahabatnya, si tukang ngorok Azura—yang omong-omong tengah ketiduran di pojok ruangan—dan Akaela yang kutebak tengah bertengkar dengan Marcel Griffith di kelas Professor Hagrid.
            “Oi Ara!” Karel berbisik padaku. Aku berpaling untuk menatap wajahnya.
            “What?” tanyaku singkat-padat-dan-jelas.
            “Marcel manantangmu adu terbang lagi nanti sore,” jawabnya dengan suara yang sangat pelan. Aku mengangguk.
            “Tell him, chalenge accepted,” aku berpaling, kembali berusaha memahami apa yang diajarkan oleh Professor di kelas ini, tentang tanaman yang bisa membantu dalam berbagai sihir dan penyembuhan dan sejuta bla-bla-bla lain yang membuatku muak. Jika saja Zhaira tidak ada disini, mungkin aku sudah kabur dari tadi.

            ***

            Now Playing  : Immposible

            Malam ini Hogwarts kembali berpesta untuk Slytherin. Asrama Ular Derik itu benar-benar mengalami kejayaan yang sangat jaya(?) setelah posisi kapten diganti oleh penyihir pindahan dari Durmstrang, Brian Salvatore. Apalagi diperkuat dengan Akaela, Michael, Tom, dan pemain-pemain lain.
            Dan hasilnya? Kamilah—Gryffindor—yang harus menanggung sengsara. Semua pemain mengalami patah tulang dan alhasil malam ini, Hospital Wings kembali dipenuhi jubah merah-emas untuk yang kesekian kalinya.
            Aku berjalan menyusuri lorong perpustakaan yang gelap dan sepi. Omong-omong, aku tidak patah tulang seperti teman-temanku yang lain karena aku tidak mengikuti pertandingan, Madam Hooch memberiku skors dengan tidak boleh bertanding Quidditch selama dua minggu dan itu membuatku sangat frustasi.
            Aku menyusuri rak-rak berisi buku super tebal berisi materi Transfigurasi untuk menyelesaikan esaaiku yang masih kurang sekitar lima lembar perkamen lagi. Mataku fokus membaca huruf-huruf yang tertera di sampul buku itu, sehingga aku tidak menyadari seorang gadis yang tengah duduk menghadap jendela dengan dahi menempel pada meja perpustakaan.
            Zhaira Isabelle Litschka. Tengah menangis.
            Telingaku bergerak-gerak merespon suara tangis Zhaira. Gadis itu menangis, malam-malam di dalam perpustakaan. Selama ini, aku tidak pernah melihat Zhaira menangis. Terakhir kali aku melihatnya menangis adalah pada tahun kedua, saat Azura dan Akaela memaksanya naik sapu terbang dan alhasil ia jatuh dari ketinggian hampir 6meter.
            Aku tidak tau kekuatan apa yang menguasaiku hingga aku berani berjalan menghampirinya hingga jarak kami hanya terpaut dua langkah saja. Suara tangis Zhaira semakin keras terdengar. Aku menelan ludah dengan susah payah, kemudian berjalan makin dekat menghampirinya.
            “Hei..” panggilku pelan. Zhaira tersentak kaget, ia menatapku dengan kedua matanya yang basah, kemudian mengusap air matanya dengan punggung tangan.
            “Hei..” ia membalas dengan suara parau.
            Menit-menit berlalu begitu lambat, tak ada dari kami yang mau bersuara, hanya detik jam dan suara hewan malam yang terdengar jelas di telingaku. Dan tak terduga, Zhaira kembali menangis, ia terisak, menutup mukanya dengan telapak tangan, kemudian kembali menangis.
            “Hey..” aku berlutut di hadapannya, kemudian meraih kedua tangannya agar wajahnya tidak tertutupi. “Stop crying...” kataku pelan. Aku mengusap pipinya dengan tanganku, tapi Zhaira kembali menangis.
            “Sorry..” ujarnya pelan. Aku tidak tau apa yang membuatnya meminta maaf padaku, tapi aku mengangguk dan kembali mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Beberapa menit kemudian kembali hening, hanya isak Zhaira yang semakin lama semakin pelan sebelum akhirnya berhenti sama sekali.
            “Hei..” panggilku. Zhaira menatapku. “Anytime you need me, i’ll be there..
            Dan ia tersenyum.

            ***

            Now Playing  : Everlasting Love

            Hari ini adalah hari yang (mungkin) ditunggu-tunggu oleh seluruh penyihir di Hogwarts. Hari ini adalah hari dimana seluruh penyihr diperbolehkan mengunjungi Hogsmeade untuk sekedar berjalan-jalan atau berbelanja.
            Aku duduk di atas sapu terbang milik Marcel yang baru saja kupinjam (tanpa meminta izin pada pemiliknya) kemarin. Para penyihir dari tahun pertama dan keenam sudah berangkat sejak tadi pagi, hanya tinggal kami—penyihir tahun ketujuh beserta prefek-prefek.
            Berkali-kali aku melirik pada gerbang Hogwarts sembari meyakinkan diriku sendiri bahwa gadis yang sedari tadi kutunggu memang belum keluar. Jantungku berdebar kencang, berkali-kali aku menarik nafas panjang, berusaha menormalkan detak jantungku.
            “Relax, dude..” Dave menepuk pundakku sembari tertawa kencang. Aku meninju lengannya, kata-katanya bukannya menenangkanku, malah membuatku semakin grogi. Dan jantungku seolah melompat keluar dari rongganya ketika melihatnya.
            Zhaira berjalan keluar dengan kedua sahabatnya, Akaela dan Azura.
            Azura dan Akaela tertawa melihatku, sementara Zhaira hanya tersenyum malu-malu. Aku kembali menarik nafas panjang, Dave dan Ray mendorong-dorong punggungku agar aku segera menghampiri Zhaira. Dan aku bersumpah itu adalah hal paling memalukan seumur hidupku.
            Menarik nafas sekali lagi, aku berjalan menghampiri Zhaira yang menunduk dengan pipi memerah. Akaela dan Azura segera berjalan menjauh begitu aku sampai tepat di hadapan Zhaira. Syukurlah mereka pergi karena aku tidak tau betapa malunya jika harus berbicara dengan Zhaira di hadapan mereka berdua.
            “Hei.” sapaku pelan.
            “Hei.” balas Zhaira tak kalah pelan.
            “Pergi sekarang?” tanyaku dengan bodohnya.
            “Okay..”

            ***

            Kami menghabiskan waktu seharian, mengunjungi Shierking Shack, minum butter beer di The Three Broomstick sembari mengobrolkan berbagai hal yang tak terduga. Aku tidak menyangka bahwa Zhaira ternyata seseru ini.
            Aku tidak peduli tatapan penyihir lain yang mungkin menganggapku aneh karena memilih untuk menghabiskan waktu dengan buku berjalan—panggilan untuk Zhaira—daripada menemani anggota tim Quidditch Gryffindor yang pasti tengah berburu sapu terbang.
            “Tidak. Sebenarnya aku tidak suka belajar, aku hanya suka mempelajari yang tidak aku ketahui,” ujar Zhaira sembari mengunyah kentang tumbuk dan daging kalkun di hadapannya. Aku mengangguk kecil.
            “Aku tidak suka belajar,” kataku jujur.
            “Aku tau,” balas Zhaira.
            “Kenapa kau tidak suka Quidditch? Sahabat-sahabatmu menyukainya,” tanyaku sembari mengiris daging kalkun lantas mengunyahnya perlahan.
            “Sama seperti alasanmu tidak suka belajar,” Zhaira tersenyum kecil. “Quidditch bukan duniaku, aku tidak pernah bisa menikmatinya seperti kedua sahabatku,”
            Kemudian hening. Zhaira menatap ke luar jendela, menikmati indahnya matahari yang tenggelam di balik Shierking Shack. Sinar mentari begitu indah mengenai sisi kiri wajah Zhaira, rambutnya yang lembut jatuh begitu indah di samping wajahnya.
            Aku menelan ludah dengan susah payah, berusaha menahan keinginan untuk mengungkapkan perasaanku. Karena bagiku, bisa melihat wajahnya dan berbicara dengannya, sudah merupakan suatu yang sangat membahagiakan.

            ***

            Now Playing  : Skyfall

            Hari ini—untuk kesekian kalinya—aku kembali menantang asrama Ular Derik Menjijikkan itu. Tujuanku sudah jelas, aku ingin membalas kekalahan mengerikan kami dengan kemanangan super gemilang. Akaela menerima tawaranku dengan senyum mengembang, dia memang berbahagia setelah mengantongi kemenangan berturut-turut setelah mengalahkan Gryffindor dan Ravencalaw (seharusnya ia tidak perlu berbangga kerena asrama Ravenclaw memang tidak pernah menang)
            Hari ini, adalah hari yang kutunggu-kutunggu, kami sudah melakukan latihan lebih dari tujuh kali dalam dua minggu ini, dan aku sangat yakin bahwa malam ini, Ular Derik bersisik itu akan meringkuk di dalam asrama Slytherin yang dingin dan gelap.
Aku mendongak menatap Tim Slytherin yang bermanuver di udara dipimpin oleh Akaela dan di sampingnya, tampak Brian Salvatore yang mengenakan pita warna biru melingkar di lengan kanannya.
            Tribun penonton seolah dicat warna hijau dan merah, sorakan-sorakan dari para pendukung kedua asrama menggema di udara. Beberapa penggemar Quidditch dari Ravenclaw—yang hanya dua orang—dan Hufflepuff duduk di tribun tersendiri. Aku bisa melihat tim Quidditch  Hufflepuff yang duduk dengan angkuh di tribun mereka.
            “1.. 2.. 3.. Go!” seruku memberi aba-aba. Kami langsung meluncur di udara, bermanuver selama beberapa menit kemudian berhenti tepat di depan tim Slytherin. Di hadapanku, Brian Salvatore terseyum khas anak Durmstrang, senyum licik yang menyebalkan.
            Madam Hooch mengoceh di kejauhan, aku tidak mendengarkan apapun karena perhatianku teralihkan pada senyum licik Brian yang seolah merendahkan. Aku memandang anggota tim-ku, semuanya terintimidasi tatapan tim Slytherin yang merendahkan. Oh ya, tentu saja selain Azura. Bukannya terintimidasi Akaela, mereka berdua malah tertawa-tawa sembari mengobrolkan sesuatu tentang “dia tampan sekali” “aku malas mengerjakan tugas” dan lain sebagainya.
            “1...” Madam Hooch mulai menghitung. Brian melebarkan senyum separuhnya. Akaela dan Azura masih tertawa-tawa seolah baru saja melakukan hal yang menggemaskan.
            “2..” Lion—seeker Slytherin—mulai melirik pada Golden Snitch yang bergerak-gerak liar di dalam kotak. Azura dan Akaela berhenti tertawa-tawa, Akaela mulai mengeluarkan tatapan Slytherinnya, dan itu menyeramkan sekali.
            “Go..!” aku meluncur kebawah, menangkap bludger dan mengoperkannya pada David. Tidak seperti dugaanku, Brian malah meluncur ke pertahanannya sendiri, Akaela maju ke depan, bermanuver beberapa kali, dan menangkap bludger yang kulemparkan tepat sebelum David berhasil menangkapnya dan memasukannya ke gawang dengan mulus.
            10-0 untuk Slytherin.

            ***

            Malam ini, Aula Besar kembali menjadi milik asrama Slytherin. Pesta besar dilakukan, tapi aku tau, ‘pesta’ sesungguhnya ada di dalam asrama Slytherin sendiri, kabarnya, mereka selalu menyelundupkan soda api untuk dipakai mabuk-mabukan di asrama mereka yang berada di dasar danau hitam.
            Dan selalu saja, tidak ada penyihir yang berani keluar apabila Slytherin mengadakan pesta, mereka tau, penyihir Slytherin adalah kumpulan penyihir nekat yang berani melakukan apa saja meskipun itu di hadapan profesor sekalipun.
            Aku berjalan sendirian menyusuri koridor sayap barat Kastil yang gelap. Ujung koridor ini mengarah pada jalan berbatu menuju asrama Slytherin. Ini adalah koridor yang sangat jarang dilewati oleh penyihir kecuali dari asrama Slytherin sendiri. Koridor yang kulalui begitu gelap, disana-sini tampak bendera-bendera Slytherin yang berkibar ditiup angin dan plakat-plakat berukir Ular Derik yang menghiasi sepanjang tembok.
            Aku berjalan dengan bulu kuduk berdiri, aku jadi heran sendiri bagaimana mungkin para penyihir itu mau ditempatkan di dalam asrama super menyeramkan seperti asrama Slytherin yang gelap dan mengerikan.
            “Yap. Tapi terkadang Jason menemaniku,” sayup-sayup kudengar suara Zhaira memantul pada dinding lorong yang dingin. Aku menajamkan penglihatanku, dan diujung lorong, tampak Zhaira yang tengah berjalan dengan penyihir pindahan beberapa hari yang lalu, Zax Heisnbrg.
            “Di sekolahku dulu, kami tidak harus berpatroli setiap malam, para hantu yang melakukannya,” Zax membalas ringan. Zhaira tersenyum kecil. Keduanya tampak begitu akrab, dan jujur saja, aku tidak menyukainya.
            “Ya Tuhan!” Zhaira menepuk dahinya pelan. “Aku belum menyelesaikan tugas dari kelas Ramuan!” serunya panik.
            “Hmm.. aku akan membantumu mengerjakannya malam ini,” Zax tersenyum kecil. Mereka berdua berbincang-bincang tentang suatu ramuan dan beberapa mantera yang tidak kumengerti, tapi bagaimanapun, hatiku sakit sekali.

            ***

            Now Playing   : Those Year

            Hari-hari berjalan begitu cepat. Aku membuka lembaran buku materi Transfigurasi dengan malas, nyaris tanpa semangat. Ujian NEWT yang tinggal menghitung hari membuat seluruh penyihir tahun ketujuh seolah mempunyai kebiasaan baru yang sama : belajar di perpustakaan.
            Sudah seharian ini aku duduk disini, tanpa melakukan apapun. Hanya membalik-balik halaman buku, kemudian beralih memandangi lautan penyihir yang didominasi oleh anak-anak Ravenclaw yang mendapatkan tempat di balkon khusus.
            Apabila sudah mendekati ujian seperti sekarang ini, para Professor akan membagi perpustakaan ke dalam 4bagian. Yang pertama, balkon. Sudah jelas ditempati oleh penyihir-penyihir rajin dan pintar dari asrama Ravenclaw yang akan membaca dalam keheningan, penuh penghayatan, dan konsentrasi tinggi.
            Area kedua, sisi kanan perpustakaan sekaligus dekat dengan jendela menghadap Danau Hitam yang ditempati oleh penyihir genius dari Slytherin. Sejujurnya, Slytherin mempunyai kemampuan otak lebih mumpuni dibandingkan dengan Ravenclaw, namun mereka memang tidak mempunyai sifat rajin seperti yang dimiliki Ravenclaw.
            Aku menggeleng-gelengkan kepalaku melihat Brian Salvatore dan Akaela yang berebut apel hijau yang merupakan tanda dari kekuasaan mereka. Mereka menyebutnya Slytherin’s Pride. Sesuatu yang harus mereka jaga dan pertahankan hingga akhir hayat.
            Sementara lorong super nyaman—lokasi ketiga—menjadi tempat untuk penyihir asrama Hufflepuff. Sayangnya, hanya segelintir penyihir saja yang duduk disana, sebagian besar penyihir Hufflepuff memilih untuk tidur atau berdiam diri di asrama mereka. Bukan hal yang aneh mengingat penyihir Hufflepuff memang tidak terlalu peduli pada nilai.
            Dan kami, Asrama Singa, memperoleh tempat di sisi kiri perpustakaan, berseberangan dengan asrama Slytherin. Beberapa penyihir mempelajari bacaannya dengan serius, beberapa lagi—termasuk aku—hanya berada disini sekedar menunjukkan bahwa aku juga ingin belajar sama seperti yang lain.
            Kembali mataku melirik pada balkon tempat para penyihir Ravenclaw berada—lebih tepatnya, melirik pada kursi Zhaira yang sudah ditinggalkan lebih dari setengah jam yang lalu. Aku menghela nafas panjang, menutup bukuku dengan kasar, kemudian berjalan keluar dari perpustakaan.
            Angin sejuk langsung menerpa tubuhku begitu aku keluar dari dalam perpustakaan. Sejujurnya aku lebih menikmati berada di luar seperti ini dibandingkan harus membaca buku seharian di dalam perpustakaan.
            “Hei Ara!”
            Aku menoleh, dan mendapati Zhaira yang tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang yang dikenal sebagai pohon tempat Draco Malfoy ditransfigurasikan menjadi tupai oleh Profesor Mad-Eye.
            “Hei..” balasku sembari berjalan menghampirinya. Zhaira tersenyum manis, tangannya menepuk tempat di sebelahnya, sebagai isyarat bahwa aku diperbolehkan duduk disitu. Aku membalas senyumnya, lalu duduk di sebelahnya.
            “Aku tidak suka belajar di dalam perpustakaan, suasananya terlalu ramai,” ia membuka percakapan.
            “Mmmm..” gumamku tak jelas. “Lagipula, belajar tidak akan membuatku mampu mengalahkanmu,” ujarku tersenyum tipis. Zhaira tertawa pelan.
            “Ada Jax Heisnbrg yang juga perlu kau kalahkan,” balas Zhaira.
            “Hmm.. berarti dia benar-benar ancaman untukmu,”
            “Ya. Tapi tidak juga, menurutku, penyihir di Slytherin jauh lebih berbahaya, apalagi jika mereka mau belajar seperti sekarang ini,” Zhaira membalik halaman bukunya. Aku menghela nafas panjang.
            Tiba-tiba pikiran itu muncul lagi, suatu keinginan untuk mengungkapkan perasaanku pada Zhaira, perasaan yang mendadak tak bisa kutahan, perasaan yang begitu kuat, seolah mendorongku untuk mengungkapkannya, mengatakannya dengan sejujur-jujurnya.
            Aku menarik nafas panjang, menoleh pada Zhaira yang tengah berkosentrasi membaca deretan huruf di dalam bukunya. Jantungku berdegub kencang, keringat dingin mulai menetes, dan tanganku gemetar seperti tersetrum listrik ribuan volt.
            “Zhaira..” panggilku pelan. Zhaira menoleh dengan alis terangkat, dan hal itu membuatku bertambah gugup. Aku menelan ludah susah payah, katakan Ara, katakan, katakan atau kau akan menyesal selamanya. Sudut pikiranku terus-menerus mendesakku untuk mengatakan yang sebenarnya.
            “Zhaira..” aku menarik nafas panjang. “I love you,” kembali aku menarik nafas panjang. “Be my girl, please,”
            Hening.
            Hening.
            Hening.
            Zhaira mematung di tempatnya, tidak bereaksi dengan apa yang baru saja kukatakan. Aku membuang muka, menatap ke arah lain, berusaha mengalihkan pikiranku tentang berbagai spekulasi bagaimana perasaan Zhaira setelah aku mengungkapkannya.
            Tiba-tiba Zhaira berdiri, membereskan bukunya. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya, namun ia hanya tersenyum, kemudian berjalan menjauh kembali ke dalam perpustakaan.

            ***

            Now Playing               : Unconditionally

Aku hanya merasa.. hampa. Tidak ada yang bisa kurasakan setelah ujian NEWT selesai, aku hanya datang ke lapangan Quidditch, menatap kosong pada kastil Hogwarts yang luar-biasa megah, kemudian kembali lagi ke dalam asrama Gryffindor yang semakin lama semakin sepi.
Para penyihir se-angkatanku sudah banyak yang pergi meninggalkan kastil, entah untuk bekerja di Kementrian Sihir atau meneruskan sekolah sihir mereka di negara lain. Seluruh penyihir tahun ketujuh Ravenclaw sudah kembali ke keluarga masing-masing, termasuk Zhaira.
Malam ini, kami kembali berkumpul di Aula Besar untuk makan malam. Semakin lama, suasana makin sepi, dari seluruh penyihir tahun ketujuh, mungkin hanya tersisa sekitar 20orang yang masih belum pergi dari sini.
Aku menyelesaikan suapan terakhir dalam diam. Besok, Ray dan Will akan kembali ke orang tua mereka masing-masing, itu berarti hanya aku yang masih bertahan. Aku tidak tau mengapa aku begitu tidak rela meninggalkan kastil ini, mugkin.. karena hanya kastil inilah satu-satunya saksi bahwa aku pernah dekat dengan Zhaira.
Udara dingin bagaikan anak panah yang menusuk-nusukku begitu aku keluar dari Aula Besar. Angin bulan Desember menerbangkan butir-butir salju yang mulai turun. Kurapatkan mantelku, berjalan menuju asrama Gryffindor ketika suara itu memanggilku dengan pelan namun aku dapat mendengarnya dengan sangat jelas.
“Ara!”

            ***

            “Aku hanya mengambil barang-barangku yang masih tertinggal,” jawab Zhaira sembari menunjukkan kopernya yang berisi penuh buku. Aku mengangguk, rasanya senang melihatnya kembali berada disini meskipun sebentar lagi ia akan kembali ke dunia Muggle bersama kedua orang tuanya.
            Kembali terlintas di pikiranku peristiwa ketika Zhaira pergi meninggalkanku setelah aku mengungkapkan semuanya, perasaanku selama tujuh tahun bersamanya di satu sekolah yang sama, kastil yang sama, tempat yang sama.
            “Kau akan kemana setelah ini?” tanyaku memberanikan diri. Zhaira mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tau.
            “Mungkin aku akan meneruskan sekolahku ke Hungaria, atau mungkin..” ia menghela nafas pelan. “Kembali menjadi muggle seperti kedua orang tuaku,” ia tersenyum. Aku sudah mengetahui kabar tentang Kementrian Sihir yang melarang Zhaira menjadi anggota Kementrian karena ia adalah muggle-born, penyihir yang lahir dari pasangan manusia alias tidak mempunyai leluhur penyihir.
            “Lebih baik meneruskan sekolahmu,” kataku memberi saran. Zhaira mengangguk.
            “Akan kupikirkan nanti,”
            Kemudian hening lagi, keheningan yang terasa begitu akrab, keheningan yang selalu terjadi ketika aku tengah bersama Zhaira.
            “Ara,” panggilnya. Aku menoleh.
            “Soal pernyataanmu waktu itu, sekarang aku akan menjawab—”
            “Jangan dijawab!” potongku cepat. Zhaira menoleh, heran. “Jangan dijawab. Biarkan saja aku mencintaimu, apabila takdir nantinya akan menyatukan kita, maka aku akhirnya akan tau apa jawabanmu,”
            Zhaira tersenyum tipis, kemudian mengangguk.

            ***

            Now Playing   : Those Years

            5years later..

            Aku memeriksa tumpukan perkamen yang menggunung di atas meja kerjaku, melihat satu-per-satu laporan tentang deportasi penyihir besar-besaran yang terjadi beberapa hari yang lalu. Sudah lebih dari lima jam aku duduk dalam posisi ini, dan sekarang tubuhku terasa begitu pegal.
            Sudah lima tahun aku lulus dari Hogwarts, banyak teman-temanku yang sudah menikah ataupun bekerja, dan begitupun aku, pada akhirnya aku bekerja di Kementrian Sihir sebagai bagian divisi Sosial yang mengurusi perpindahan penyihir dan sejenisnya.
            Lima  tahun berlalu sejak terakhir aku bertemu dan berbicara dengan Zhaira. Aku masih mencintainya, tapi aku tau, mungkin memang aku tidak boleh terlalu egois, jadi aku membiarkan takdirlah yang akan menjawab perasaanku padanya.
            Triingg..
            Lamunanku buyar ketika telepon di sebelah sikuku berdering. Sejak beberapa tahun yang lalu, Kementrian memang memperbolehkan penggunaan barang muggle seperti telepon untuk memudahkan komunikasi antar penyihir.
            “Halo?” kataku.
            “Hai teman lama,”
            Suara Zhaira.


            ***

            “Apa? Kau merindukanku?” tanyaku sembari tertawa renyah. Zhaira ikut tertawa.
            “Jangan berharap.”
            “Lalu, kenapa kau menghubungiku? Sudah berapa lama, hmm? Lima tahun?” tanyaku lagi.
            “Ya.. selama itulah, aku tidak pernah menghitungnya,”
            “Bagaimana kabarmu?”
            “Baik, aku sudah menyelesaikan sekolahku dua tahun yang lalu, sekarang aku bekerja di sini, dan itu sangat menyenangkan dibandingkan Inggris,” jawabnya dengan nada gembira.
            “Aku turut senang mendengarnya,” kataku tulus.
            “Mmmm Ara. Aku punya satu keinginan untukmu,” ujarnya lagi.
            “Apa? Kau ingin aku mengejarmu lagi? Hahaha,”
            “Hahaha kedengarannya menyenangkan. Sayangnya, sekarang tidak bisa lagi, kau tidak bisa mengejarku lagi,”
            “Hah?” aku melepas kacamataku. “Kenapa?”
            “Ini yang sebenarnya ingin ku katakan padamu, kau akan menjadi orang yang pertama kuberi tahu..”

            ***

            Now Playing  : One In A Million You

            Aku menatap pintu masuk dengan perasaan gugup yang berlebihan. Sudut mataku  melirik Marcel Griffith, Brian Salvatore, Dave Degaetano, Jason McShade, dan teman-temanku yang tengah bercanda dan tertawa tanpa beban. Aku menarik nafas panjang, yah, ini memang bukan hari bahagia mereka. Ini adalah hari bahagiaku. Jadi, tidak ada alasan untuk mereka grogi di hari bahagiaku.
            Tanganku bergerak-gerak dengan gelisah, jari-jemariku saling meremas satu sama lain, waktu terasa berjalan begitu lambat ketika lampu tiba-tiba padam, hanya lilin-lilin terbang yang masih memancarkan cahaya redup yang malah membuat rasa grogiku bertambah menjadi berkali-kali lipat dari sebelumnya. Telapak tanganku dingin, dan tubuhku gemetar seolah disetrum dengan listrik ribuan volt.
            “Relax dude,” Marcel menepuk pundakku sembari tersenyum. Aku menunduk, menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan, berusaha mengusir rasa gugup ini sejauh-jauhnya. Alunan musik mulai terdengar, para undangan serentak menghadap ke arah pintu masuk berwarna putih gading yang terletak di ujung ruangan. Pintu itu perlahan-lahan membuka secara sihir, dan siluet seorang gadis yang amat-sangat kukenal terlihat jelas dari tempatku berada.
            Untuk sesaat, waktu seolah terhenti saat aku melihatnya masuk ke dalam ruangan.
            Aku bersumpah dia adalah gadis paling cantik yang pernah kutemui. Ia terlihat cantik setiap harinya tetapi hari ini ia terlihat seribu kali lebih cantik. Tubuhnya terbalut gaun berwarna putih gading dengan buket bunga lili di genggamannya. Ia tersenyum manis, lengannya mengamit tangan seorang laki-laki yang kuyakini menjadi laki-laki paling beruntung di dunia.
            Jax Heisnbrg dan Zhaira Litschka.
            Mereka berdua berpandangan, kemudian kembali melemparkan senyum pada para undangan yang bertepuk tangan riuh. Aku memandang teman-temanku yang tersenyum lebar melihat pasangan pengantin yang mulai berjalan menyusuri karpet menuju altar.
            Pasangan Ravenclaw, dua penyihir berotak encer, jebolan asrama Ibunda Rowena yang terkenal, aku tidak menyangka bahwa Zax-lah yang akhirnya mendapatkan Zhaira. Kupikir, akulah yang akan berdiri di sampingnya saat ini, aku tidak menyangka, takdir menyeret kami masuk dalam pusaran seperti ini.
            Zhaira tersenyum menatapku, dan tanpa sadar, sudut bibirku tertarik ke atas membalas senyumannya. Ingatanku melayang menyusuri berbagai peristiwa selama tujuh tahun kami berada di sekolah yang sama; dia adalah gadis yang paling kucintai, satu-satunya gadis yang kuharapkan menjadi pendamping hidupku, gadis yang hari ini tersenyum bahagia mengamit lengan laki-laki idamannya, laki-laki yang sangat kuyakini mampu membuatnya lebih bahagia daripadaku.
            Senyumku makin lebar saat Zax dan Zhaira berjalan melewatiku, menuju petugas Kementrian sihir yang berdiri di sebuah mimbar besar menghadap para undangan. Aku merasa sesuatu yang hangat meleleh dalam hatiku, rasa hangat yang kusebut sebagai.. kebahagiaan. Aku tersenyum makin lebar, menyadari sesuatu pemikiran yang tiba-tiba muncul dalam hatiku.
            Ternyata selama ini aku salah, kupikir akan sangat menyakitkan melihat gadis yang paling kucintai bersama dengan laki-laki lain. Tapi tidak, aku benar-benar salah. Aku salah karena, disaat kita benar-benar mencintai seorang gadis, kita akan bahagia saat ia berhasil menemukan pria idamannya, dan dari lubuk hati yang paling dalam, kita akan mendoakannya,

            Bahagia selamanya..

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates